WEEKLYINE.NET_Ketika tahu harga jam tangan Ruhut Sitompul politisi Demokrat berharga Rp 450 juta dan Anis Matta, Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mengenakan jam tangan seharga Rp 70 juta, maka Putu Suprapti Santy Sastra, salah seorang Politisi Wanita Partai Gerindra berjanji tidak akan bermewah-mewah jika dipercaya menjadi perwakilan rakyat di DPRD I Provinsi Bali.
Santy Sastra, demikian Politisi Perempuan Kawakan ini biasa disapa, kepada weeklyline.net, sadar benar bahwa dirinya adalah orangt biasa seperti masyarakat Bali pada umumnya. hanya saja ketika dirinya diberi kesempatan untuk mewakili masyarakat Bali dari daerah pemilihan Denpasar, maka dirinya akan menyerahkan separuh gajinya untuk membantu rakyat kecil.
“Ini komitmen saya. Saya berjuang bersama rakyat kecil sebab saya dilahirkan dari komunitas kecil yang bernama rakyat itu. Dan ketika saya dipercayakan menjadi anggota DPRD Bali Dapil Denpasar, saya pastikan untuk memberikan separuh gaji saya untuk rakyat kecil juga,” ungkap Santy Sastra kepada weeklyline.net, di Denpasar, 11 November 2013.
Bagaimanan caranya.? Santy Satra menjelaskan, separuh gaji yang dijanjikan untuk membantu rakyat kecil itu akan dikelolah oleh Relawan Santy Sastra, yang disebut dengan Sahabat Santy. oleh karena itu dirinya memohon doa dan restu serta dukungan dari masayarakat Kota Denpasar.
“Sebab dengan Garuda (Partai Gerindra-Red) terbang tinggi membawa saya maju dalam perhelatan demokrasi 9 april 201 3, Partai Gerindra nomor urut 3 Dapil Denpasar ke Propinsi Bali, mohon doa restu dan dukungannya sahabat santy yang mempunyai hak pilih di Denpasar,” tuturnya.
Komitmen Santy Satra ini terlihat jelas dalam nadi perjuangan politik menuju Kursi DPRD Bali 2014, yakniSanty, Dengan Setulus Hati Menuju Bali Yang Shanti.
Perjuangan dan komitmen mengingatkan semua kita pada Bung Hatta, Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama, mengatakan, seorang pemimpin haruslah mengambil beban yang lebih berat; ia harus tahan sakit dan tahan terhadap cobaan; ia juga tidak boleh berubah hanya karena kesusahan hidup.
“Keteguhan hati dan keteguhan iman adalah conditio sine qua non (syarat yang utama) untuk menjadi pemimpin,” kata Bung Hatta.
Dengan demikian, di mata Hatta, seorang pejabat negara atau pemimpin tidak boleh punya gaya hidup mewah. Sebab, gaya hidup mewah akan menuntut biaya hidup yang tiggi pula. Tentunya, hal itu akan memaksa si pejabat akan menggunakan segala macam cara untuk membiayai gaya-hidupnya itu.
Hatta sendiri adalah seorang sosok pemimpin sederhana. Ia melamar istrinya dengan sebuah mas kawin berupa buku karyanya sendiri. Ia juga harus menabung bertahun-tahun untuk memenuhi keinginannnya membeli sepatu. Konon, Hatta pernah negosiasi panjang dengan kusir bendi soal tariff. Akan tetapi, karena tidak terjadi titik temu, Hatta pun memilih jalan kaki.
Bung Karno juga begitu. Semasa hidupnya, sebagaian besar pakaian kebanggaan Bung Karno dijahit dan dipermak sendiri. Salah satu seragam kebesaran Bung Karno adalah pakaian bekas militer wanita Australia.
Orang bisa mengatakan jaman sudah berubah. Apakah bisa begitu? Tidak juga. Buktinya, Fidel Castro, Presiden Kuba, hanya menerima gaji sebesar 900 peso atau kira-kira 36$ per bulan. Atau, mari kita dengar cerita tentang Ahmadinejad. Konon, Presiden paling dibenci oleh AS ini tidak menerima gajinya. Ketika ia pertama kali menempati jabatan Presiden, ia memerintahkan menggulung karpet antik peninggalan Persia untuk dimuseumkan. Ia juga menolak kursi VIP di pesawat kepresidenan. Bahkan ia memilih tinggal di rumahnya yang sederhana.
Kenapa bisa berbeda begitu? Santy Sastra berpendapat. Pertama, ini adalah soal mendefenisikan kekuasaan. Di jaman Bung Karno dan Bung Hatta, kekuasaan dianggap sebagai sarana untuk memperjuangkan masyarakat adil dan makmur. Sedangkan sekarang, kekuasaan dijadikan sarana untuk memperkaya diri sendiri. Kedua, politisi di jaman Bung Karno dibimbing oleh sebuah ideologi atau keyakinan politik. Sedangkan pejabat publik sekarang berjalan tanpa ideologi dan tanpa keberpihakan kepada rakyat. Ketiga, sistim politik kita makin terkomoditifikasi dan jabatan politik tak ubahnya barang dagangan.
Kembali ke jam tangan Ruhut Sitompuil dan Anis Matta, menurut Anis Matta, dirinya membeli arloji seharga Rp70 juta sebagai aksesoris untuk ‘memantaskan’ dirinya sebagai pejabat publik. Artinya, di mata Anis Matta, standar seorang pejabat publik harus punya, diantaranya, jam tangan paling murah Rp70 juta.
Dan Santy Sastra bersama para Sahabat Santy, telah berkomitmen dengan tulus membangun menuju Bali yang Shanti. Politik bukan untuk merengkuh kekayaan atau menikmati harta tetapi politik merupakan jalan untuk mengabdi lebih kepada rakyat. Astungkara.! (Sandro Wangak)
Santy Sastra, demikian Politisi Perempuan Kawakan ini biasa disapa, kepada weeklyline.net, sadar benar bahwa dirinya adalah orangt biasa seperti masyarakat Bali pada umumnya. hanya saja ketika dirinya diberi kesempatan untuk mewakili masyarakat Bali dari daerah pemilihan Denpasar, maka dirinya akan menyerahkan separuh gajinya untuk membantu rakyat kecil.
“Ini komitmen saya. Saya berjuang bersama rakyat kecil sebab saya dilahirkan dari komunitas kecil yang bernama rakyat itu. Dan ketika saya dipercayakan menjadi anggota DPRD Bali Dapil Denpasar, saya pastikan untuk memberikan separuh gaji saya untuk rakyat kecil juga,” ungkap Santy Sastra kepada weeklyline.net, di Denpasar, 11 November 2013.
Bagaimanan caranya.? Santy Satra menjelaskan, separuh gaji yang dijanjikan untuk membantu rakyat kecil itu akan dikelolah oleh Relawan Santy Sastra, yang disebut dengan Sahabat Santy. oleh karena itu dirinya memohon doa dan restu serta dukungan dari masayarakat Kota Denpasar.
“Sebab dengan Garuda (Partai Gerindra-Red) terbang tinggi membawa saya maju dalam perhelatan demokrasi 9 april 201 3, Partai Gerindra nomor urut 3 Dapil Denpasar ke Propinsi Bali, mohon doa restu dan dukungannya sahabat santy yang mempunyai hak pilih di Denpasar,” tuturnya.
Komitmen Santy Satra ini terlihat jelas dalam nadi perjuangan politik menuju Kursi DPRD Bali 2014, yakniSanty, Dengan Setulus Hati Menuju Bali Yang Shanti.
Perjuangan dan komitmen mengingatkan semua kita pada Bung Hatta, Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama, mengatakan, seorang pemimpin haruslah mengambil beban yang lebih berat; ia harus tahan sakit dan tahan terhadap cobaan; ia juga tidak boleh berubah hanya karena kesusahan hidup.
“Keteguhan hati dan keteguhan iman adalah conditio sine qua non (syarat yang utama) untuk menjadi pemimpin,” kata Bung Hatta.
Dengan demikian, di mata Hatta, seorang pejabat negara atau pemimpin tidak boleh punya gaya hidup mewah. Sebab, gaya hidup mewah akan menuntut biaya hidup yang tiggi pula. Tentunya, hal itu akan memaksa si pejabat akan menggunakan segala macam cara untuk membiayai gaya-hidupnya itu.
Hatta sendiri adalah seorang sosok pemimpin sederhana. Ia melamar istrinya dengan sebuah mas kawin berupa buku karyanya sendiri. Ia juga harus menabung bertahun-tahun untuk memenuhi keinginannnya membeli sepatu. Konon, Hatta pernah negosiasi panjang dengan kusir bendi soal tariff. Akan tetapi, karena tidak terjadi titik temu, Hatta pun memilih jalan kaki.
Bung Karno juga begitu. Semasa hidupnya, sebagaian besar pakaian kebanggaan Bung Karno dijahit dan dipermak sendiri. Salah satu seragam kebesaran Bung Karno adalah pakaian bekas militer wanita Australia.
Orang bisa mengatakan jaman sudah berubah. Apakah bisa begitu? Tidak juga. Buktinya, Fidel Castro, Presiden Kuba, hanya menerima gaji sebesar 900 peso atau kira-kira 36$ per bulan. Atau, mari kita dengar cerita tentang Ahmadinejad. Konon, Presiden paling dibenci oleh AS ini tidak menerima gajinya. Ketika ia pertama kali menempati jabatan Presiden, ia memerintahkan menggulung karpet antik peninggalan Persia untuk dimuseumkan. Ia juga menolak kursi VIP di pesawat kepresidenan. Bahkan ia memilih tinggal di rumahnya yang sederhana.
Kenapa bisa berbeda begitu? Santy Sastra berpendapat. Pertama, ini adalah soal mendefenisikan kekuasaan. Di jaman Bung Karno dan Bung Hatta, kekuasaan dianggap sebagai sarana untuk memperjuangkan masyarakat adil dan makmur. Sedangkan sekarang, kekuasaan dijadikan sarana untuk memperkaya diri sendiri. Kedua, politisi di jaman Bung Karno dibimbing oleh sebuah ideologi atau keyakinan politik. Sedangkan pejabat publik sekarang berjalan tanpa ideologi dan tanpa keberpihakan kepada rakyat. Ketiga, sistim politik kita makin terkomoditifikasi dan jabatan politik tak ubahnya barang dagangan.
Kembali ke jam tangan Ruhut Sitompuil dan Anis Matta, menurut Anis Matta, dirinya membeli arloji seharga Rp70 juta sebagai aksesoris untuk ‘memantaskan’ dirinya sebagai pejabat publik. Artinya, di mata Anis Matta, standar seorang pejabat publik harus punya, diantaranya, jam tangan paling murah Rp70 juta.
Dan Santy Sastra bersama para Sahabat Santy, telah berkomitmen dengan tulus membangun menuju Bali yang Shanti. Politik bukan untuk merengkuh kekayaan atau menikmati harta tetapi politik merupakan jalan untuk mengabdi lebih kepada rakyat. Astungkara.! (Sandro Wangak)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar