Breaking News

Selasa, 15 Juli 2014

Pengurus

HITLER tidak pernah membaca John Maynard Keynes.

Tetapi tokoh Nazi yang mengerikan itu menyelamatkan Jerman dari kemacetan depresi ekonomi dunia di tahun 1930-n. Langkah-langkahnya mirip dengan langkah yang ditawarkan ahli ekonomi Inggris itu untuk mengatasi keadaan lumpuh. Dan Jerman, ternyata, memang tak terkena lumpuh.

Sejak 1933, setelah ia berkuasa, Hitler meminjam dana, dan membelanjakannya. Jumlahnya tak tanggung-tanggung. Ia membangun jalan kereta api. Kanal. Bangunan umum. Autobahnen. Ia dengan demikian menciptakan lapangan kerja. Menjelang 1935, pengangguran praktis berakhir di Jerman.

Hitler, seorang yang yakin bahwa ia — dan “ia” di sini bisa berarti negara — harus memimpin, tampil ke mimbar dan menciptakan sebuah pemerintah yang aktif mengatur perekonomian. Menjelang 1936, ketika pendapatan naik dan harga pun cenderung naik dan upan mulai meningkat, ia bilang stop. Jual beli mata uang asing dikontrol. Pemakaian barang impor diusahakan dibatasi. Jerman, dengan itu semua, muncul sebagai suatu prestasi yang unik untuk aman meleise tahun 30-an: tak ada orang yang menganggur, dan harga-harga stabil.

Hitler tidak pernah membaca John Maynard Keynes. Tapi hasilnya?, Kurang-lebih sama dengan yang akan disenangi seorang pengikut Keynes. John Kenneth Galbralth (ia sendiri, di masa itu, seorang Keynesian baru) menulis dalam The Age of Uncertainty tentang prestasi Hitler itu: “The results were all a Keynesian could have wished.”

Tapi Hitler telah membuat banyak orang keder. Pemerintahannya, dengan semangat yang sama ketika mengatur jalan perekonomian, juga mengatur hidup tiap orang. Tahun 1930-an, nafkah begitu terdesak dan suasana begitu suram dan harapan digantikan oleh amarah.

Masa itu adalah zaman kekecewaan kepada demokrasi. Di Italia, seorang ahli ilmu sosial, Mario Palmieri menulis dengan keras: demokrasi adalah sebuah bentuk organisasi sosial dan politik yang haram jadah. “Orang banyak”, tulis Palmieri, “diciptakan untuk dipimpin, dan bukan untuk memimpin, dan akhirnya diciptakan untuk jadi budak, dan bukan jadi tuan.”

Fasisme lahir dari pandangan seperti itu. Bagi Mussolini, Fasisme yang dikumandangkannya adalah peneguhan bahwa manusia tidak diciptakan sama, dan hak pilih yang sama tak akan mengubah kenyataan itu. Ketidaksamaan justru baik. Ada yang memimpin (dan itu adalah negara), ada yang dipimpin (dan itu adalah orang banyak.

Dari atas balkonnya di Roma, dengan baju hitam dan suara fanatik, Mussolini berteriak, “Negara bukan hanya masa kini, tapi juga masa lalu dan di atas segalanya, ia masa datang.” Melebihi lintasan pendek kehidupan individu-individu, kata pemimpin fasis itu, negara tegak sebagai suara batin yang paling dalam dari bangsa.

Sayang — kalau kata itu boleh dipakai di sini — Mussolini, dan juga Hitler, tak bertahan lama. Mereka sudah tumbang sebelum kita semua menyaksikan, bagaimana sebuah masyarakat bisa terus-menerus dikuasai dengan konsep seperti itu. Akan menarik untuk mengetahui, bagaimana rakyat Italia atau Jerman dapat bertahan dengan pemikiran bahwa negara adalah “suara batin yang terdalam dari bangsa”.

Bagi yang hidup setelah Hitler, Mussolini, dan Stalin iatuh, negara yang semacam itu hanyalah sebuah mitos. Pada akhirnya, negara adalah orang-orang juga dengan hidup mereka yang pendek. Pada akhirnya, negara — sebagai susunan aparat yang mengurus kehidupan bersama — punya batas kemampuannya juga. Ia tak akan bisa menguasai mutlak manusia sampai ke batin-batinnya. Ia bahkan kadang tak becus mengurus hal-hal yang “sepele”, misalnya kesehatan, perdagangan, lalu lintas.

Untunglah, kita punya Bung Hatta. Pada suatu hari di tahun 1945, ketika para pemimpin masyarakat tengah menyiapkan sebuah konstitusi untuk Republik Indonesia yang sedang akan lahir, ia, meskipun dengan suara yang tidak tegas benar, tampaknya sudah melihat: “Janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara”, katanya, sebagaimana direkam Muh. Yamin dalam Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 45 Jilid I, halaman 299.

Jangan salah paham. Bung Hatta bukanlah seorang yang datang dengan ide kemerdekaan ala Milton Friedman. Jangan-jangan ia, dalam arti tertentu, juga seorang “Keynesian”. Tapi menarik bahwa Bung Hatta, di pidatonya hari itu, memakai istilah “negara pengurus”. Istilah “pengurus” lebih enak ketimbang istilah “pemerintah”.

Terutama jika kita ingat akar katanya, dan terutama bagi suatu masa yang telah menyaksikan banyak pengalaman pahit dalam soal kekuasaan, di akhir abad ke-20 ini. Sebab itu berarti kita “diurus”, bukan “diperintah”.

Goenawan Mohamad

Sumber: goenawanmohamad.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By Published.. Blogger Templates