Birokrasi yang masih njlimet adalah salah satu tantangan besar yang dihadapi Ni Made Sumiati dalam menjalankan tugas sebagai anggota parlemen. Sistem dan mekanisme birokrasi di Indonesia seringkali menghambat berbagai upaya dan inisiatif perempuan politisi Bali asal Karangasem ini, sehingga ia tidak bisa secepat mungkin menggali kebutuhan masyarakat konstituennya dan juga dalam menyampaikan informasi kepada mereka tentang kerja politik yang telah, sedang dan akan dilakukannya.
Bagi Mbok Sum, panggilan akrab Ni Made Sumiati, aspirasi masyarakat, khususnya kaum perempuan dan anak adalah segalanya. Oleh sebab itu, dukungan terbesar yang ia terima dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat adalah dari masyarakat itu sendiri. Salah satu dukungan dari masyarakat itu berupa berbagai informasi tentang permasalahan yang dihadapi mereka, terutama tentang perempuan di Bali. Budaya patrilineal yang melekat dalam budaya Hindu Bali adalah tantangan tersendiri bagi perempuan kelahiran 2 Februari 1967 ini dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak yang merupakan salah satu visinya dalam berpolitik.
Sebagai anggota DPRD Provinsi Bali, Mbok Sum memiliki prioritas untuk mengatasi persoalan-persoalan kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan dan anak yang semakin meningkat di berbagai wilayah di Bali. Dalam upaya menanggulangi permasalahan kekerasan itu, Sarjana Hukum ini bekerjasama lintas sektoral dengan berbagai pihak, seperti pemerintah provinsi, khususnya Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat/ Organisasi Non-pemerintah) yang aktif memberikan informasi dan jaringan-jaringan pendampingan maupun konselor terhadap perempuan dan anak yang sedang mengalami kekerasan dan masalah hukum lainnya, maupun pemberdayaan dan peningkatan dalam kehidupan sosial mereka.
Ketika ditanya mengenai isu apa yang menjadi fokus dan telah didalaminya sejak menjadi anggota parlemen, Mbok Sum menyebut fokus kerjanya adalah sesuai dengan visinya dalam berpolitik, yaitu: pertama, memperjuangkan hak-hak perempuan Hindu Bali dan kedua, mengajegkan takse Bali (mengupayakan aspek spiritual, budaya dan adat Bali sebagai Unsur Daya Tarik Pariwisata Bali tetap dipelihara dan lestari). Mulai 2009, tutur Mbok Sum, dia dan kawan-kawan di DPRD Bali mampu menerobos tatanan adat dengan memberikan sosialisasi positif bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kedudukan yang sama di depan hukum dan tata pemerintahan sehingga perempuan-perempuan di Bali diberikan hak-hak mereka dalam kehidupan, sebagaimana juga telah tercantum dalam Kitab Suci.
Hasil dari perjuangannya itu, lanjut Mbok Sum, lahirlah Surat Keputusan Majelis Agung Desa Pakeraman Provinsi Bali tentang hak waris perempuan Hindu Bali, status anak bagi perempuan, harta gono-gini pasca-perceraian dan kawin pada gelahan (perjanjian pernikahan bagi pasangan yang keduanya merupakan anak tunggal dari keluarga mereka masing-masing, yang menyebutkan perkawinan keduanya tetap mewarisi garis keturunan keluarga masing-masing dan juga berhak atas hak waris mereka, tidak hanya pihak lelaki saja. Begitupun bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut, baik laki-laki maupun perempuan).
Mengenai isu kawin pada gelahan ini penting bagi Mbok Sum agar keluarga Hindu Bali yang mempunyai anak tunggal perempuan tidak putung atau terputus garis keturunannya setelah anaknya itu menikah, terutama yang berkaitan dengan hak dan kewajiban adat sekale.
Bagi Mbok Sum, panggilan akrab Ni Made Sumiati, aspirasi masyarakat, khususnya kaum perempuan dan anak adalah segalanya. Oleh sebab itu, dukungan terbesar yang ia terima dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat adalah dari masyarakat itu sendiri. Salah satu dukungan dari masyarakat itu berupa berbagai informasi tentang permasalahan yang dihadapi mereka, terutama tentang perempuan di Bali. Budaya patrilineal yang melekat dalam budaya Hindu Bali adalah tantangan tersendiri bagi perempuan kelahiran 2 Februari 1967 ini dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak yang merupakan salah satu visinya dalam berpolitik.
Sebagai anggota DPRD Provinsi Bali, Mbok Sum memiliki prioritas untuk mengatasi persoalan-persoalan kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan dan anak yang semakin meningkat di berbagai wilayah di Bali. Dalam upaya menanggulangi permasalahan kekerasan itu, Sarjana Hukum ini bekerjasama lintas sektoral dengan berbagai pihak, seperti pemerintah provinsi, khususnya Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat/ Organisasi Non-pemerintah) yang aktif memberikan informasi dan jaringan-jaringan pendampingan maupun konselor terhadap perempuan dan anak yang sedang mengalami kekerasan dan masalah hukum lainnya, maupun pemberdayaan dan peningkatan dalam kehidupan sosial mereka.
Ketika ditanya mengenai isu apa yang menjadi fokus dan telah didalaminya sejak menjadi anggota parlemen, Mbok Sum menyebut fokus kerjanya adalah sesuai dengan visinya dalam berpolitik, yaitu: pertama, memperjuangkan hak-hak perempuan Hindu Bali dan kedua, mengajegkan takse Bali (mengupayakan aspek spiritual, budaya dan adat Bali sebagai Unsur Daya Tarik Pariwisata Bali tetap dipelihara dan lestari). Mulai 2009, tutur Mbok Sum, dia dan kawan-kawan di DPRD Bali mampu menerobos tatanan adat dengan memberikan sosialisasi positif bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kedudukan yang sama di depan hukum dan tata pemerintahan sehingga perempuan-perempuan di Bali diberikan hak-hak mereka dalam kehidupan, sebagaimana juga telah tercantum dalam Kitab Suci.
Hasil dari perjuangannya itu, lanjut Mbok Sum, lahirlah Surat Keputusan Majelis Agung Desa Pakeraman Provinsi Bali tentang hak waris perempuan Hindu Bali, status anak bagi perempuan, harta gono-gini pasca-perceraian dan kawin pada gelahan (perjanjian pernikahan bagi pasangan yang keduanya merupakan anak tunggal dari keluarga mereka masing-masing, yang menyebutkan perkawinan keduanya tetap mewarisi garis keturunan keluarga masing-masing dan juga berhak atas hak waris mereka, tidak hanya pihak lelaki saja. Begitupun bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut, baik laki-laki maupun perempuan).
Mengenai isu kawin pada gelahan ini penting bagi Mbok Sum agar keluarga Hindu Bali yang mempunyai anak tunggal perempuan tidak putung atau terputus garis keturunannya setelah anaknya itu menikah, terutama yang berkaitan dengan hak dan kewajiban adat sekale.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar