Breaking News

Rabu, 16 Juli 2014

Memantapkan Nasionalisme Melalui Pesta Demokrasi

Oleh : Nyoman Gede Antaguna, SE., SH., MH.
Dok. Balimeter.com
Tahun 2014 menjadi tahun bersejarah dalam perjalanan demokrasi bangsa Indonesia. Pada tanggal 9 April 2014 kita telah melewati satu tahapan pemilihan umum (Pemilu) untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota dan Provinsi, Deawan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pemilihan anggota legislatif tersebut telah berjalan sesuai dengan rencana tahapan Pemilu. Segala tantangan dan hambatan telah dilewati dalam batasan konstitusi. Kemudian pada tanggal 9 Juni 2014 kita bangsa Indonesia telah melewati tahapan Pemilu Presiden (Pilpres). Sampai tulisan ini dibuat, Pilpres masih dalam tahapan perhitungan.

Pilpres 2014 ini memiliki keistimewaan tersendiri dibanding Pilpres langsung pada dua periode Pilpres sebelumnya. Pada Pilpres 2004 diikuti oleh lima pasangan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres). Pada Pilpres 2009 diikuti oleh tiga pasangan Capres dan Cawapres. Sedangkan Pilpres kali ini hanya diikuti oleh dua pasangan Capres dan Cawapres. Keistimewaan yang pertama, dengan sedikitnya pasangan calon dapat diartikan bahwa calon yang tampil betul-betul telah melewati tahap kualifikasi oleh koalisi partai pengusung. Kedua, selera partisipasi masyarakat semakin meningkat. Ketiga, dari aspek penyelenggaraan tentu lebih efektif dan efisien. Apalagi Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus, yang pada intinya Pilpres yang diikuti oleh dua pasangan calon cukup satu putaran.

Nasionalisme dan demokrasi adalah dua menu utama yang telah kita pilih sejak founding father kita mendirikan negara bangsa ini. Nasionalisme adalah jiwa kebangsaan, zat perekat, nilai pemersatu, rasa setia pada persatuan dan jaringan sel hidup yang melingkupi bangsa ini. Sedangkan demokrasi adalah cara kita menyelenggarakan kehidupan berbangsa dari, oleh dan untuk rakyat. Nasionalsme dan demokrasi adalah satu kesatuan yang utuh, ibarat jiwa dan raga yang mesti sama-sama sehat. Sebab bila jiwa saja yang sehat, maka tak ada apapun yang dapat dikerjakan. Sebaliknya bila raga saja yang sehat, raga akan bergerak tanpa kendali, laiknya manusia yang hehilangan akal sehat. Keduanya harus saling sinergi untuk mencapai tujuan.

Nasionalisme yang berlebihan akan tipis bedanya dengan fasisme. Nasionalisme yang kebablasan dapat mengarah pada tirani otoriterian. Bahkan, nasionalisme yang keterlaluan akan menghancurkan nilai-nilai demokrasi. Sebaliknya. Demokrasi yang berlebihan akan tipis bedanya dengan anarkisme. Demokrasi yang kebablasan akan mengarah pada liberalisme. Dan demokrasi yang keterlaluan akan menghancurkan nilai-nilai kebangsaan itu sendiri. Oleh sebab itu, keduanya harus diberi porsi yang seimbang agar tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara dapat berjalan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan tujuan yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Selanjutnya diatur dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawahnya.

Kembali mengenai Pilpres 2014. Harus di akui, selera partisipasi rakyat dalam perhelatan demokrasi kali ini jauh lebih baik dibanding hajatan yang sama sebelumnya. Beberapa golongan masyarakat semisal seniman, akademisi, rohaniawan, dan aktivis LSM yang dulu bersikap abu-abu bahkan golput aktif, kini langka ditemukan. Mulai dari penyayi dangdut, penyanyi rock, bintang film, sampai penyayi punk sekalipun masing-masing punya Capres idola. Begitu pula akademisi, rohaniawan dan aktivis LSM, tak jarang kita temukan berdiri gagah di pangung-panggung utama saat kampanye Pilpres.

Kini gagap gempita dan hingar-bingar pesta demokrasi telah kita lewati dengan hati riang gembira. Tanggal 9 Juli rakyat telah menentukan pilihan. Masyarakat akar rumput kini sudah tenang dan kembali bekerja. Namun kelompok elit, terutama tim pemenangan masing-masing Capres rupanya tak setenang masyarakat akar rumput, malah tampaknya semakin menjalarkan akar masalah. Akar masalahnya dimulai dari saling klaim menang versi hitungan cepat (quick count) oleh lembaga survey. Kemudian beberapa hari ini nampaknya masing-masing kubu mulai klaim menang versi hitungan asli (real count) oleh tim masing-masing.

Berita saling klaim dan perdebatan antar tim soal hasil Pemilu di atas, tentu bukan pemandangan indah untuk dipertontonkan kepada masyarakat. Bukankah sudah ada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga resmi yang diberi kewenangan untuk menyelenggarakan, menghitung serta menetapkan hasil Pemilu? Pada tanggal 22 Juli 2014 KPU akan mengumumkan secara resmi perolehan suara masing-masing pasangan calon. Bila ada pihak yang hendak menyanggah hasil penetapan KPU, konstitusi kita telah menyediakan jalur untuk mengajukan keberatan melalui Mahkamah Konstitusi.

Dalam menanti detik-detik pengumuman resmi KPU ini, saatnya memberikan pencerahan kepada masyarakat. Demokrasi kita adalah demokrasi konstitusional. Demokrasi kita dijalankan sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Bukan demokrasi lembaga survey. Bukan pula demokrasi tim pemenangan. Demokrasi yang dilaksanakan sesuai konstitusi akan memperkokoh dan memantapkan nasionalisme bangsa Indonesia. Dalam setiap kontestasi, tentu ada yang menang dan ada yang kalah. Tetapi, dalam kontes demokrasi tidak pernah ada yang disisihkan karena semangat dalam kontes demokrasi adalah semangat yang dilandasi rasa persatuan dan kesatuan. Gagasan cemerlang membangun bangsa bukan untuk diadu, melainkan untuk saling disinergikan. Mari kita mantapkan nasionalisme kita melalui pesta demokrasi yang indah ini.

Penulis adalah Ketua Umum DPD KNPI Bali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By Published.. Blogger Templates