Breaking News

Sabtu, 12 Juli 2014

KIAT POLITIK

Setulus Merpati, Secerdik Ular, Sekelompok Semut dan Setekun Laba-laba

MAU “ Jadi Calon”, memang mesti dicalonkan oleh partai politik, tapi kalau mau “jadi Pemenang” dalam pertarungan politik, maka sebaiknya model pintu-pintu sosio-kultural para konstituen dipahami terlebih dahulu. Karakter sosio-kultural pemilih potensian di Indonesia umumnya, dan di NTT khususnya, jelas bersifat majemuk. Kategorisasi karakter sosio-kultural dapat beraneka, namun yang paling tenar adalah yang berbasis SARA. Secara ideologis karakter SARA dalam lingkup internal cenderung dipandang merugikan, tapi jelas sering dimanfaatkan ketika terjadi konflik eksternal. Nasionalisme, misalnya, yang jelas-jelas bernuansa SARA, sering dimanfaatkan ketika terjadi perang. Disukai atau tidak, dalam pertarungan politik, nyatanya isu ini cukup efektif memicu sentiment para pemilih. Jadi ketimbang bersikap seperti Burung Onta yang mengira tak ada masalah jika ia menyembunyikan kepalanya kedalam pasir, “Forum Ruba Dara Muri” lebih suka mengemukakan opini yang bertolak dari realitas. Oleh karena NTT dan Indonesia sangat kompleks, maka “setting” kajian kali ini cukuplah di Kota Kupang saja.

Walau juga diwarnai oleh berbagai segmen masyarakat pendatang, namun harus diakui bahwa, sesuai dengan komposisi penduduknya, maka karakter sosio-kultural penduduk Kota Kupang sebenarnya didominasi oleh kelompok Tirosa (Timor, Rote, Sabu). Jadi sedikitnya ada empat kategori pintu sosio-kultural yang perlu dipahami oleh para kandidat penguasa politik.

Pertama, sebutlah, Pintu Timor. Pintu Timor adalah “Oko Mama”. Oko Mama merupakan cara Orang Timor untuk membuat ikatan adat. Orang Timor yang telah menerima “Oko Mama” dari salah seorang kandidat terikat untuk memenuhi permohonan dimaksud dan sekaligus terikat untuk menolak “Oko Mama” dari kandidat lainnya. Tetapi sesungguhnya Orang Timor tidaklah selugu itu. Agar sepenuh hati diterima, sang pemohon mesti memakai pendekatan yang tepat, yaitu yang sesuai dengan hakekat Orang Timor. Riset S2 Hukum Pdt.Nuniek Ernaningrum menemukan bahwa Orang Timor berelasi bukan dengan menggunakan bahasa nalar melainkan bahasa “suasana hati”. Orang Timor nyaris selalu mengiakan [Tua] apapun kata lawan bicaranya, tetapi tindakan nyatanya, nantinya, adalah merupakan respons hatinya terhadap suasana hati relasinya itu. Ketulusan direspons dengan ketulusan, kemunafikan dengan kemunafikan. Jawaban kata Orang Timor belum tentu menyimbolkan secara persis apa yang akan dibuatnya.

Disinilah pemohon bekerjasama seringkali terjebak oleh dirinya sendiri. Mengira telah berhasil memperdaya Orang Timor, tapi sebenar dirinya sendiri yang diperdaya. Oleh karena itu, respons yang diinginkan Orang Timor mesti dikonstruksi terlebih dahulu dalam lingkup mental pemohon kerjasama; Orang Timor cenderung merekonstruksi setepat mungkin suasana hati relasinya.

Dilain pihak, para To’o, Ti’I dan Te’o rote punya model sosio-kultural Rote tersendiri dalam rangka rekrutmen para “Manek”. Sekretaris PUSHAM Undana, Deddy R.Manafe, mendeskripsikan bahwa status sesorang dalam kacamata Orang Rote ditentukan melalui arena konflik. Seseorang dipandang pantas menjadi pemimpin apabila dia dapat membuktikan kemampuan dirinya. Ini bukan soal pendidikan atau kekayaan atau keturunan, melainkan soal kompetensi pribadi yang mesti terbukti dan teruji secara terus menerus. Alih-alih bersifat destruktif, kritik dan konflik bagi Orang Rote justru merupakan wacana penggodokan kepribadian, pengasahan potensi, pembuktian kapasitas, penentuan status social, dan pada gilirannya, merupakan jaminan bagi kohesi dan integrasi social melalui kepemimpinan yang handal.

Karena itu, saudara dekat sekalipun, kalau “bai liu” jangan harap akan diakui sebagai “Manek”. Karakter “telinga tipis”, gampang tersinggung kalau dikritik, dipandang rendah oleh Orang Rote, karena menggambarkan kurangnya kompetensi pribadi yang bersangkutan. Sebaliknya, kesediaan melayani kritik dan konflik merupakan pertanda bibit unggul. Kemampuan berargumentasi dan mengatasi konflik merupakan tiket ke penghargaan social yang lebih luas. Tetapi yang perlu juga diingat adalah bahwa status yang sekali diperoleh seperti itu bukan merupakan jaminan berhentinya proses pengujian social tersebut. Status social seseorang tetap diakui hanya jika ia tetap mampu mebuktikan kompetensinya.

Model pintu sosio-kultural Orang Sabu lain lagi. Sabu seringkali dicitrakan sebagai suku yang paling nepotism di NTT. Asal ada “bau angalai”, maka kenal atau tidak kenal, “ngali” atau “paten”, dukungan sesame anggota suku dating dengan sendirinya. Tetapi, citra seperti itu menyesatkan. Setahu penulis, Orang Sabu yakin bahwa Orang Rote, Timor [yang secara genetic berasal dari Belu] dan Helong merupakan saudara sendiri. “Belu Mau, Ti Mau, Hawu Mau, Pelihu Mau”, merupakan mantra sacral yang diajarkan kepada setiap anak Sabu, agar ia tak boleh mendahului menyerang anak-anak dari keempat suku tersebut; dan, jika diserang terlebuh dahulu, ucapkan saja mantra itu, maka umur sang penyerang, jika tidak ada perdamaian, tidak akan lebih dari tiga kali matahari terbenam. Anehnya mantra itu tidak mempan terhadap anggota suku sendiri. Ketimbang hubungan darah atau perkawinan, pilihan Orang Sabu cenderung lebih terarah pada karakter pribadi seseorang. Karakter pribadi yang paling dihargai adalah kekompakan yang diwujudkan dengan cara, terutama, selalu hadir dikala duka. Pada aras yang lebih umum, Orang Sabu cenderung mentabukan konflik dan menghargai kerjasama sebagaimana tercermin dalam ungkapan “Mira Ke’di hari do memu’de par alai”.

Karakter kelompok-kelompok masyarakat lainnya cenderung bervariasi, namun, menurut Pieter da Santo, Pakar Kriminologi FH Undana, karakter social asli mereka sedikit banyaknya telah mengalami proses pembauran dan cenderung fleksibel. Fleksibilitas dimaksud terkait erat dengan pengalaman keberadaan dan “sense of belonging” [rasa memiliki] terhadap Kota ini.

Dari gambaran karakter konstituen di atas dapat diperkirakan bahwa kandidat yang bermaksud memperoleh dukungan dari berbagai segmen masyarakat tersebut tidak boleh tampil monoton. Untuk mempeoleh dukungan Orang Timor sang kandidat mesti berkarakter secepat dan setulus merpati. Terlambat “Oko Mama” bakal berbuah penolakan karena yang bersangkutan telah terikat secara adat, sedangkan kemunafikan bakal membuahkan janji kosong Orang Timor. Sedangkan untuk memperoleh dukungan konsituen Rote, sang kandidat mau tak mau mesti secerdik dan, jika perlu, seganas ular. Tak ada tempat di kursi pemimpin Orang Rote bagi mereka yang “bai noe” dan tak teruji digelanggang konflik. Selanjutnya untuk memperoleh dukungan konstituen Sabu maka membangun relasi di kala duka merupakan “entry point” terbaik. Orang Sabu tak akan lupa pada siapapun yang hadir ketika keluarganya dirundung duka, seperti halnya ia tak akan lupa siapa-siapa yang tidak dating. Karena itu karakter terbaik yang perlu ditampilkan sang kandidat adalah karakter kompak seperti semut. Mengingat kondisi kemajemukannya maka untuk memperoleh dukungan konstituen yang berasal dari segmen-segmen masyarakat lainnya, tak ada cara lain bagi sang kandidat selain setekun labah-labah membangun jaringan kerjasama. Rupanya benar apa yang dikatakan Aristoteles bahwa manusia merupakan zoon politicon alias binatang yang berpolitik.

Sumber: Samuel F.Lena
(Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang)

Kumpulan tulisan ini pernah di muat di Tabloid Suara Pembebasan Kupang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By Published.. Blogger Templates